Masa Khulafaur Rosyidin
CARI ARTIKEL SEJARAH
Tuesday 11 September 2012
Saturday 28 July 2012
Masa Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq Tahun 11 sampai 13 Hijriah. Tahun 632 sampai 634 Masehi.
A. Latarbelakang Kepmimpinan Abu Bakar
Sepeninggal Nabi Muhammad Saw. Sahabat Muhajirin dan Anshar berkumpul di
Saqifah Bani Saadah untuk membicarakan tampuk pimpinan, sebagai pengganti
beliau. Abu Bakar yang memimpin rapat waktu itu berkata:’’Kami dari keturunan
Quraisy, maka pimpinan juga dari golongan kami.”[1]
Saat perdebatan antara dua kubu tersebut memuncak, Abu Bakar melanjutkan
perkataannya: “Orang Arab tidak bakal mampu menyelesaikan persoalan tanpa orang
Quraisy. Rasulullah pernah bersabda:setelah aku, persoalan (kepemimpinan) ini
ada di tangan orang-orang Quraisy”[2]
Kemudian ia berkata seorang sahabat dari Anshar, Basyir bin Saad, “Apakah kamu
pernah mendengar rasul bersabda bahwa para pemimpin adalah dari orang Quraisy?”
Basyir menjawab: “Demi Allah, ya”.[3]
Menurut al-Baladziri, ketika Rasulullah wafat, Umar bin Khattab
mendatangi Abu Ubaidah bin Jarrah: “ Aku membaiatmu”, kata Umar.[4]
Seperti diketahui bahwa umar bin Khattab adalah seorang tokoh Quraisy, beguitu
juga Abu Ubaidah bin Jarrah.
Tatkala pembaitan jatuh di tangan Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib merasa
tidak puas. Abu Ubaidah menemuinya, lalu berkata: “Hai putra pamanku, engkau
masih muda, sedangkan mereka adalah sesepuh kaummu (sesepuh Quraisy),
pengetahuan dan penga lamanmu belum cukup jika dibandingkan dengan mereka.
Dalam hal ini Abu Bakar lebih unggul dan cakap dari kamu. Terimalah dia
Sesungguhnya jika engkau diberi umur panjang, kelak engkau akan mendudukinya”.[5]
B. Kondisi Masyarakat Sepeninggal Muhammad SAW.
Meninggalnya Rasulullah pada usia 63 tahun, meninggalkan kesan dan
pengaruh yang kuat kepada kaum muslimin. Meskipun mereka baru saja menerima
fatwa-fatwa bahwa seorang nabi tidak dapat hidup selama-lamanya dan rasul akan
menemui Tuhan, para sahabat sebagai pahlawapahlawan yang ulung dan pemberani,
juga sempat panik. Banyak diantara mereka yang tidak mempercayai berita
wafatnya Rasul yang dating dengan tiba-tiba.[6]
Setelah Abu Bakar mendengar kabar tersebut, ia segera menemui orang-orang yang
sedang berkerumun untuk menenangkan dan menghilangkan kebingungan mereka. Abu
Bakar berpidato: “Wahai manusia, barang siapa yang memuja Muhammad , Muhammad
telah mati,tetapi siapa yang memuja Tuhan, tuhan hidup selama-lamanya, tiada
mati-matinya”[7]
Kemudian ia membaca ayat yang memperkuat apa yang diucapkannya.[8]
Dengan wafatnya Rasul, maka umat islam dihadapkan dengan masalah sangat
Kritis. Sebagaian dari mereka bahkan ada yang menolak iIslam.[9]
Ada golongan
yang murtad, ada yang mengaku dirinya sebagai nabi, golongan tidak mau membayar
zakat. yang masih tetap patuh kepada agama Islam adalah penduduk Makkah,
Madinah dan Thaif. Mereka tetap memenuhi kewajiban dan mau mengorbankan apa
yang mereka miliki untuk mengembalikan kejayaan Islam.[10]
C. Sistem Pemilihan Kholifah
Abu Bakar memangku jabatan khalifah berdasarkan pilihan yang
berlangsung sangat demokratis di Muktamar Tsaqifah Bani Sa’idah,
memenuhi tata cara perundingan yang dikenal dunia modern saat ini.[11]
Kaum Anshar menekankan pada persyaratan jasa, mereka mengajukan calon Sa’ad ibn
Ubada. Kaum Muhajirin menekankan pada persyaratan kesetiaan, mereka mengajukan
calon Abu Ubadah ibn Jarrah. Sementara itu dari Ahlul Bait menginginkan agar
Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah atas dasar kedudukannya dalam Islam, juga
sebagai menantu dan karib Nabi. Hampir saja perpecahan terjadi bahkan adu
fisik. Melalui perdebatan dengan beradu argumentasi, akhirnya Abu Bakar
disetujui oleh jamaah kaum muslimin untuk menduduki jabatan khalifah.[12]
D. Kebijakan-kebijakan Pemerintah
Maju mundurnya suatu pemerintahan akan sangat bergantung kepada pemegang
kekuasaan. Sehubungan dalam periode Khulafa’ al-Rasyidin Abu Bakar adalah
khalifah(pemimpin Negara) yang pertama. Maka kualitas seorang khalifah memberi
contoh tersendiri dalam menentukan kebijakan-kebijakan di berbagai bidang yang
berhubungan dengan hajat hidup masyarakst yang dipimpinnya. Demikian pula dalam
mengatasi berbagai krisis dan gejolak yang muncul dalam pemerintahannya.[13]
1. Memerangi Kaum Riddah
Sebaagai khalifah pertama, Abu Bakar dihadap pada keadaan masyarakat
seninggal Muhammad saw. Ia bermusawarah dengan para sahabat untuk menentukan
tindakan yang harus diambil dalam menghadapi kesulitan-kesulitan yang dihadapi.
Meski terjadi perbedaan pendapat tenteng tindakan yang akan dilakukan dalam
kesulitan yang memuncak tersebut,kelihatan kebesaran jiwa dan ketabahan
hatinya.seraya bersumpah dengan tegas ia menyatakan akan memerangi semua
golongan yang menyimpang dari kebenaran,sehingga semuanya kembali kejalan yang
benar atau harus gugur sebagai syahid dalam membela agama Allah. Ketegasan Abu
Bakar ini disambut oleh segenap kaum muslimin.
Untuk memerangi kemurtadan ini dibentuklah sebelas pasukan. Sebelum
pasukan dikirim ke daerah yang ditinjau, terlebih dahuludikirim surat yang menyeru kepada
mereka agar kembali kepada ajaran Islam, namun tidak mendapat sambutan.
Terpaksa pasukan dikirimkan dan membawa hasil yang gemilang.[14]
Kebijakan tersebut dilakukan dengan tujuan terciptanya persatuan umat,
penegakan hokum dan keadilan. Hal lain yang dilakukan Abu Bakar adalah
mengangkat Ali sebagai deputinya untuk mengurusi masalah kesekretariatan Negara
di samping Umar dsan Abu Ubadah ibn Jarrah. Dalam masalah keadilan, ia berjanji
akan melindungi si lemahdari pemerkosaan si kuat tanpa pandang bulu.
2. Penataan Birokrasi Pemerintahan
Dalam masalah penataan birokrasi pemerintahan khalifah Abu Bakar masih
meneruskan system pemerintahan yang bersifat sentral, yakni sepertihalnya
pemerintaha n yang berjalan dimasa Rasululla ,yaitu kekuasaan eksekutif,
legeslatif, yudikataf terpusat disatu tangan.[15]
3. Pembukuan Al-Qur’an
Penulisan ayat-ayat al-Qur’an sudah dimulai sejak zaman Rasulullah,
bahkan sejak masa awal diturukannya al-Qur’an yang diwahyukan ssecara
berangsur-angsur selama 23tahun. Setiap kali menerima wahyu rasulullah selalu
membacakan dan mengajarkannya kepada sahabat serta memerintahkan mereka untuk
menghafalkannya. Rasul juga memerintahkan kepada sahabat yang pandai menulis
agar menuliskannya di pelepah-pelepah kurma, lempengan-lempengan batu dan
kepingan-kepingan tulang.[16]
Pada masa Rasulullah, tulisan-tulisan itu belum dikumpulkan dalam satu mushaf,[17]
tetapi masih berserakan.
Setelah Rasulullah wafat dan Abu Bakar menjadi
khalifah, terjadi perang Yamamah yang merenggut korban kurang lebih 70 sahabat
penghafal al-Qur’an. Banyaknya sahabat yang gugur dalam peristiwa
tersebut,timbul khekhawatiran di kalangan sahabat khususnya Umar ibn
Khatab,akan menyebabkan hilangnya al-Qur’an. Umar menyarankan kepeda Abu baker
agar menghimpun surah-surah dan ayat-ayat yang masih berserakan kedalam satu
mushaf. Awalnya Abu Bakar keberatan karena hal seperti itu tidak dilakukan oleh
rasul. Umar menyakinkan kepada Abu Bakar bahwa hal itu semata-mata untuk
melestarikan al-Qur’an,akhirnya Abu baker menyetujuinya. Zaid ibn Tsabit
menerima tugas untuk memimpin pengumpulan itu, dengan berpegang padatulisan
yang tersimpan da rumah Rasul saw,hafalan-hafalan dari sahabat dan
naskah-naskah yang ditulis oleh para sahabatuntuk dirinya sendiri. Zaid menjadi
salah seorang penulis ayat-ayat al Qur’an Dngan ketekunan dan kesabaran Zaid
berhasil menuliskan satu naskah al-Qur’an diatas adim(kulit yang disamak}.[18]
Setelah selesai, mushaf tersebut diserahkan kepada Abu Bakar dan disimpannya
sampai wafat. Ketika Umar menjadi khalifah, mushaf itu berada dalam
pengawasannya. Sepeninggal Umar, mushaf tersebut disimpan di rumah Hafsh binti
Umar, istri Rasul saw.
E. Perluasan Wilayah
Setelah dalam negeri stabil, Abu Bakar meneruskan rencana Rasulullah
yang belum terlaksana yaitu mengadakan peperangan dengan Persia dan Byzantium
karena kasus Bendhi. Semenanjung Arab kini disatukan dibawah kekuasaan Abu
Bakar melalui pedang Khalid ibnu al-Walid. semangat perang berbagai suku, yang
kini telah dipersatukan ke dalam sebuah persaudaraan, harus menemukan sarana
untuk menegaskan dirinya.[18]
Hal ini bisa dilihat bagaimana usaha yang dilakukan oleh khalifah Abu
Bakar dalam memperluas wilayah kekuasaan Islam pada masanya, diantaranya dengan
penaklukan Irak dan Persia, dan juga penaklukan Syiria (Suriah)
- 1. Penaklukan Irak dan Persia
Setelah menyelesaikan urusan perang dalam negeri, barulah Abu Bakar ra.
mengirim kekuatan ke luar Arabia. Semula
beberapa kelompok suku kecil bertempur untuk mendapatkan harta rampasan, tetapi
penyerbuan Arab memaksa Byzantium
untuk mengirimkan ekspedisi utama ke palestina Selatan. Beberapa kelompok
penyerbu harus memusatkan kekuatan timurnya di Ghaza, dan disini di bawah
Khalid ibn Walid dibantu oleh Al-Mutsannah ibn Haritsah ra. yang dikirim oleh
Abu Bakar ke Iraq untuk
menjadi komandan bagi klan Arab, mereka mengalahkan pasukan Byzantium
dalam peperangan Ajnadyn (634 M) dan mereka mampu memenangkan peperangan dan
membuka Hirah serta beberapa kota
di Irak. Di antaranya adalah Anbar, Daumatul Jandal, Faradh, dan yang lainnya.[19]
Dan Akhirnya dapat menguasai sepenuhnya wilayah al-Hirah di tahun 634 M.[20] Setelah itu khalifah Abu Bakar memerintahkan kepada Khalid
bin Walid untuk bergabung dengan pasukan Islam yang ada di Syam.
Ketika Khalid melakukan manuver ke arah barat dari Hirah pada tahun 634
M, ia meninggalkan kekuasaan atas Irak pada sekutunya dari suku badui,
al-Mutsannah ibn Haritsah, kepala suku Banu Syaiban. Karena ia menerima
perintah dari Khalifah Abu Bakar untuk membantu memperkuat pasukan di Syam.
Sementara itu orang-orang Persia
sedang bersiap-siap untuk melancarkan serangan balasan dan hampir menghancurkan
pasukan Arab dalam pertempuran di jembatan[21] dekat Hirah, pada 26 November 634. Tanpa rasa takut,
al-Mutsannah membangun serangan baru, dan pada bulan Oktober atau November
tahun berikutnya berhasil mengalahkan pasukan jenderal Persia, Mihran,
di al- Buwayb di tepi sungai efrat. Tetapi al-Mutsanna tidak lebih dari seorang
kepala suku, yang tidak punya hubungan kekuasaan dengan Madinah atau Mekkah,
dan baru masuk Islam setelah Nabi wafat. Karena itu ketika khalifah Abu Bakar
telah tiada dan digantikan oleh Khalifah Umar, beliau mengutus Sa’ad ibn Abi
Waqqash, seorang sahabat yang dijanjikan masuk surga oleh Nabi Muhammad,
sebagai komando pasukan dan mengirimkannya ke Irak. Di bawah komando Sa’ad ibn
Abi Waqqash inilah peperangan yang di lakukan Umat Islam mengalami kemenangan
dan berhasil menaklukan wilayah Irak dan Persia sepenuhnya pada tahun 652 M[22].
Dengan demikian wilayah Irak dan Persia telah berhasil dikuasai
pasukan Arab dibawah komando Khalid ibn al-Walid dan dilanjutkan oleh Sa’ad ibn
Abi Waqqash pada masa kekhalifahan Umar ibn Khaththab.
- 2. Penaklukan Islam di Syria
Penaklukan ini terjadi pada paruh pertama abad ke-7, dimana wilayah ini
sudah dikenal sebelumnya dengan nama lain seperti Bilad al-Sham, Levant,
atau Suriah Raya. Sebenarnya pasukan Islam sudah berada di perbatasan selatan
beberapa tahun sebelum Nabi Muhammad SAW meninggal dunia tahun 632 M, seperti
terjadinya pertempuran Mu’tah di tahun 629 M, akan tetapi
penaklukan sesungguhnya baru dimulai pada tahun 634 M dibawah perintah Kalifah Abu Bakar
and Umar bin Khattab, dengan Khalid
bin Walid sebagai panglima utamanya.
Suriah dibawah pemerintahan Romawi timur selama 7 abad sebelum Islam
datang, juga pernah di invasi beberapa kali oleh Kekaisaran Sassania Persia yaitu pada abad
ke-3, 6 dan 7; Suriah juga menjadi target serangan sekutu Sassania, Lakhmid. Wilayah ini disebut Provinsi
Iudaea oleh Bizantium. Selama perang Romawi-Persia terakhir, yang
dimulai pada tahun 603, pasukan Persia dibawah pimpinan Khisra II berhasil
menduduki Suriah, Palestina and Mesir selama lebih dari satu dekade sebelum akhirnya berhasil
dipukul mundur oleh Heraclius dan dipaksa berdamai dan mundur dari wilayah yang
mereka kuasai itu pada tahun 628 M. Jadi, pada saat Islam berperang melawan
Romawi ini sebenarnya mereka sedang menata kembali wilayahnya yang sempat
hilang selama kurang lebih 20 tahun tersebut.[23]
Ekspansi pun dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar dalam penaklukan
wilayah Syiria dengan mengirimkan ekspedisi pasukan yang dipimpin empat orang
jendral dikirim ke Syam (Syria) yang menjadi jajahan Romawi (Byzantium) yaitu
Abu Ubaidillah ibn Jarrah (pimpinan tertinggi empat pasukan) ke Hims, Yazid ibn
Abi Sufyan ke Damaskus, Amr ibn Ash ke Palestina dan Syurahbil ibn Hasanah ke
lembah Yordania. Sebelumnya pasukan dipimpin oleh Usamah ibn Zaid ra. yang
masih berusia 18 tahun Melihat pasukan yang menang hanya Amr ibn Ash di
perbatasan Palestina, Abu Bakar menyatukan pasukan menghadapi laskar Romawi di
Yamuk. Jendral Khalid ibn al-Walid pun di perintahkan meninggalkan Irak untuk
memperkuat memperkuat pasukan di Syam, melalui gurun pasir yang jarang
dijalani, ia sampai ke Syria.
Khalid baru sampai di Syam setelah melakukan perjalanan panjang selama 18 hari.
Maka, bergabunglah kaum muslimin hingga mencapai 26.000 personel. Dia kemudian
mengatur pasukannya dan membaginya dalam beberapa divisi.
Pertempuran ini terjadi di sebuah pinggiran sungaiYordania yang disebut
Yarmuk. Maka, berkecamuklah perang dengan sangat sengitnya. Beliau memimpin
pasukan berkekuatan 26.000 personil menghadapi tentara Romawi berkekuatan lebih
dari 100.000 dibawah panglima Theodore, saudara Heraklius, di pertempuran itu,
tentara islam memperoleh kemenangan, mencoreng muka dan memalukan Heraklius
sehingga beliau meninggalkan Hims, melarikan diri ke Anthakiah, saat Khalid ibn
al-Walid dan pasukannya memenangkan perang di Ajnadain.[24] Pada saat perang sedang berkecamuk dengan sengitnya, datang
kabar bahwa Khalifah Abu Bakar meninggal dunia dan Umar menjadi penggantinya.
Khalid di turunkan dari posisinya sebagai panglima dan segera diganti oleh Abu
Ubaidah Ibnu-Jarrah. Peristiwa ini terjadi pada bulan Jumadil Akhir tahun 13
H/634 M.
Satu hal yang perlu dicatat dari peristiwa di atas yang mengundang decak
kagum dan rasa kebanggaan adalah sikap Khalid bin Walid. Tatkala dia dinyatakan
diturunkan dari posisinya sebagai panglima perang, dia menerimanya dengan
lapang dada dan penuh rela. Padahal, saat itu dia sedang berada di puncak
kemenangan yang sangat gemilan. Lebih hebatnya lagi dia terus berperang dengan
serius dan ikhlas di bawah pimpinan panglima baru. Hal serupa juga pernah
dilakukan oleh Abu Ubaidah tatkala dia menerima dengan lapang dada tatkala dia
diturunkan dari posisinya sebagai panglima perang oleh Abu Bakar dan digantikan
oleh Khalid bin Walid.
Ini merupakan sebuah peristiwa dalam sejarah Islam yang sangat indah dan
akan sangat senantiasa dikenang sepanjang zaman.
Sedikitnya penaklukan di masa Khalifah Abu Bakar kami lihat terjadi
karena adanya beberapa sebab berikut ini : [25]
- Pendeknya masa pemerintahan Abu Bakar yang hanya berusia 2 tahun 3 bulan.
- Karena dia disibukan dengan perang orang-orang murtad yang meliputi seluruh Jazirah Arab.
- Walau demikian, peperangan-peperangan yang terjadi di masa pemerintahannya dalam melawan orang-orang Romawi dan Persia telah berhasil menakutkan musuh-musuh Islam dan sekaligus mampu menunjukan kekuatan kaum muslimin.
Operasi-operasi militer yang kemudian dilakukan oleh Khalid ibn Walid
dan Amr ibn Ash di Irak, Syiria dan Mesir, termasuk yang paling gemilang dalam
sejarah ilmu perang dan tidak kalah jika disbanding Napoleon, Hannibal atau
Iskandar Zulkarnaen.
Di antara sebab-sebab yang membuat ekspansi Islam berhasil dengan cepat
adalah;[26]
- Ajaran-ajaran Islam mencakup kehidupan di dunia dan akhirat dengan kata lain Islam adalah agama dan Negara.
- Keyakinan yang mendalam di hati para sahabat tentang kewajiban menyampaikan ajaran-ajaran Islam ke seluruh daerah.
- Kekaisaran Persia dan Byzantium dalam keadaan lemah.
- Islam tidak memaksa rakyat di wilayah perluasan untuk mengubah agamanya.
- Rakyat tidak senang (tertindas) oleh penguasa Persia dan Byzantium Timur.
- Rakyat di wilayah tersebut memandang bangsa Arab lebih dekat kepada mereka daripada Byzantium.
- Wilayah perluasan adalah wilayah yang paling subur.
Baca Juga : 6 Kenikmatan Pacaran Setelah Menikah
Masa Khalifah Umar bin Khattab (13 – 23 H = 634 – 644 M)
Umar bin
Khattab adalah pahlawan Quraisy dan salah seorang dari pemimpinnya yang
terkemuka. Dia masuk islam pada tahun 6 dari kenabian dan dengan masuknya dalam
Islam, maka bertambahlah kekuatan Islam. Hal ini tidak mengherankan apabila ia
terkenal sebagai sang pemberani dan pahlawn dalam memperjuangkan kebenaran,
sehingga masuknya ke dalam agama Islam, tidak disembunyi-sembunyikan, karena
dia percaya bahwa tidak seorangpun diantara orang Quraisy yang berani
menentangnya.
Umar bin
Khattab sangat teguh dan keras dalam membedakan yang benar dan yang batil, maka
ia digelari dengan ‘al-Faruq’ yang berarti ‘Sang Pembeda’.
Zaman Umar
bin Khattab diwarnai dengan peperangan pembebasan negeri-negeri, perkembangan
daulat Islam, serta penerapan peraturan-peraturan dalam suatu pemerintahan.
NEGERI-NEGERI YANG DI TAKLUKKAN DAN DIBEBASKAN
1. PEMBEBASAN SYAM DAN PALESTIN
A
Peluang Islam di daerah yang teraniaya oleh Romawi
Para
pembesar Imperium Romawi pada akhir zaman kebesarannya berlaku sewenang-wenang
atas penduduk negeri jajahannya. Mereka senantiasa melakukan kekerasan dan
penindasan atas jajahannya. Maka oleh sebab itu penduduk negeri yang berada
dibawah kekuasaannya berusaha melepaskan diri dari cengkramannya. Semantara itu
Byzantium telah
pecah-belah dikarenakan perselisihan agama, dan telah rapuh oleh kemewahan.
Rakyat tidak lagi terdiri dari satu bangsa, melainkan terdiri dari berbagai
bangsa yang selalu menderita karena pajak yang terlalu berat.
Peristiwa-peristiwa
itu memberikan peluang besar bagi bangsa Arab yang perkasa itu untuk
menaklukkan Siria (Syam) dan Palestina, serta negeri-negeri yang tunduk dibawah
kekuasaan Byzantium.
Apalagi ummat Islam ketika itu dikenal dengan keberaniannya dikarenakan
keteguhan imannya. Mereka pantang gemetar menentang maut untuk menegakkan agama
dan kebenaran. Al-Qur’an al-Karim pun selalu menghasung mereka untuk
melakukan jihad.
Ketika
Nabi hendak wafat, beliau memerintahkan tentara Islam dibawah kepemimpinan
Usamah bin Zaid memerangi suku-suku yang berdiam dekat perbatasan Palestina.
Perjalanan tertahan lantara Nabi wafat, dan kemudian dilanjutkan oleh Abu
Bakar. Penyerangan Usamah itu berlaku empat puluh hari lamanya, dengan
mendapatkan harta rampasan yang banyak dan dibawa pulang ke Madinah.
Peristiwa
ini sangat menyakitkan hati orang Romawi. Maka untuk membalas sakit hatinya,
Kaisar Heraklius mengumpulkan angkatan perangnya ke perbatasan Palestina dan
Siria untuk menghadapi tentara Islam. Khalifah Abu Bakar menyerukan jihad
keseluruh bangsa Arab, sehingga terkumpullah suatu barisan besar di Madinah.
Barisan ini dibagi Abu Bakar kepada empat pasukan dengan pempat panglima,
yaitu:
- Abu Ubaidah bin Jarrah, dengan tujuan Homs (Homus).
- ‘Amru bin al-‘Ash, dengan tujuan Palestina
- Yazid bin Abu Sufyan, dengan tujuan Damaskus
- Syurahbil bin Hasanah, dengan tujuan Ardan (Yordania).
Abu Bakar
memerintahkan kepada panglima yang empat itu agar mereka saling membantu dan
sebagai panglima besarnya ditetapkan Abu Ubaidah. Sedangkan ‘Amru boleh
menyendiri membebaskan Palestina, tapi dia harus membantu pasukan yang lain
bila diperlukan.
Ketika
laskar Islam tengah berperang membebaskan negeri-negeri di Syam dan Palestina
itu, yaitu negeri-negeri yang dibawah kekuasaan Romawi Timur. Abu Bakar
mengerahkan pula pasukan tentara lagi dibawah pimpinan Khalid bin Walid dibantu
oleh Mutsanna bin Harisah untuk membebaskan negeri Irak. Sewaktu laskar Khalid
berturut-turut mendapat kemenangan di Irak itu, datanglah berita dari Syam
kepada Khalifah bahwa Abu Ubaidah tidak kuasa mematahkan pertahanan
angkatan perang Romawi. Maka Abu Bakar memerintahkan Khalid bin Walid
memberikan bantuannya dengan secepat-cepatnya. Dan Khalidpun berangkat dari
Irak menuju Syam membawa 1500 pasukan laskar, memalui padang pasir Badi’atus
Samawah dengan kecepatan yang luar biasa.
Kedatangan
Khalid ke Syam itu saja sudah cukup menimbulkan semangat baru bagi laskar
Islam. Kemudian mereka bisa menduduki kota
Bushra dengan pertolongan Gubernurnya, Romanus namanya. Dia menyerahkan kota itu kepada orang Islam
setelah ia menunjukkan jalan memasuki dari lobang-lobang dibawah
benteng-bentengnya.
PERTEMPURAN YARMUK (13 H. = 634 M.)
Ketika
Kaisar Heraklius mengetahui akan kemenangan laskar Islam, maka dikerahkanlah
empat pasukan besar untuk menghadapi laskar Arab yang tak takut mati itu.
Kebetulan ketika itu suasana perang berubah, maskas laskar Islam menghadapi
kesulitan yang sangat berat, sehingga panglima-panglimanya mengadakan
musyawarah untuk mencari jalan keluarnya. Dalam musyawarah itu ‘Amru bin al’Ash
menguslkan agar laskar Islam berkumpul pada suatu tempat untuk menghadapi
kekuatan Romawi bersama-sama dengan satu pimpinan yaitu Khalid bin Walid.
Tempat yang ditunjukkannya yaitu tepi sungai Yarmuk (anak sungai Sei. Yordania)
bernama Wakusah, Pendapat ‘Amru binal’Ash ini disetujui oleh Khalifah. Maka
berkumpullah di Wakusah 40.000 laskar Islam menghadapi 240.000 tentara Romawi.
Dan pertempuran berkecamuk dengan hebatnya.
Pertempuran
di Yarmuk ini berakhir dengan kekalahan di pihak Romawi dan sejumlah besar tentaranya
terbunuh. Kekalahan ini mematahkan hati Heraklius dan menimbulkan rasa putus
asa di kalangan tentaranya. Dan peristiwa ini membuahkan jatuhnya Siria ke
tangan bangsa Arab.
Berita Kematian Abu Bakar
Ketika api
peperangan sedang menyala sehebat-hebatnya, tentara Arab dan Romawi, datanglah
berita dari Madinah bahwa Khalifah Abu Bakar telah wafat, dan digantikan oleh
Umar bin Khattab. Datang pula surat
penyerahan mandat pimpinan umum tentara (Panglima Besar) dari Khalid bin Walid
kepada Abu Ubaidah sebagai penggantinya. Berita ini disembunyikan Khalid sampai
kemenangan diperoleh ummat Islam.
Setelah
kemenangan berada ditangan ummat Islam, barulah Khalid menyerahkan pimpinan
umum tentara kepada Abu Ubaidah dan dengan segala senang hati Khalid berperang sebagai
serdadu biasa dibawah pimpinan Panglima Besar yang baru Abu Ubaidah.
Sebab-sebab Penggantian Khalid
Adapun
penggantian Khalid kali ini bukanlah karena Umar tidak percaya akan
kecakapannya sebagai Panglima Besar, hanyalah karena ia takut kalau ummat Islam
terpedaya, sebab dia amat dikasihi oleh bala-tentaranya karena keberanian dan
kemenangannya dalam segala pertempuran yang dipimpinnya. Dalam pada itu Umar
memandang Khalid terlalu keras dan kasar terhadap musuh sebangsa dalam
peperangan membasmi kaum murtad, sehingga ia pernah membunuh mereka yang sudah
menyerah dan meminta perlindungan jiwanya. Dan ketika Khalid ditanya bagaimana
perasaannya ketika menerima penggantian dirinya itu, dia berkata: “Saya
berperang bukan karena Umar”.
Kemudian
laskar Islam meneruskan perjalanannya ke Damaskus, lalau mengepung kota itu tujuh puluh hari
lamanya. Kepada penduduknya disuruh pilih satu diantara tiga, yaitu: masuk
Islam, membayar upeti atau berperang.
Ketangguhan
dan kekokohan pagar benteng tidak dapat menahan kepungan bangsa Arab atas kota itu. Tentara Islam
menghadang segala bala bantuan kepada penjaga benteng itu sehingga mereka
hampir mati kelaparan, akhirnya terpaksa penduduk kota Damaskus membuka pintunya kepada ummat
Islam.
PERTEMPURAN DI AJNADIN (16 H. = 636 M.)
Sesudah
jatuhnya kota Damaskus ke tangan Islam, maka
jatuh pula kota-kota besar di Utara Siria, seperti Aleppo,
Homs dan
Antiokhia. Jendral Aretion panglima Romawi di Siria, bertahan dengan gigih
beserta sisa tentaranya di Ajnadin dekat Baitul Maqdis. Di sana terjadilah pertempuran sengit antara
tentara Romawi dan Arab, yang tidak kurang hebatnya dari pertempuran di Yarmuk.
Pertempuran
ini berakhir dengan kemenangan ummat Islam, dan tentara Romawi yang masih
tinggal melarikan diri ke Kaisarian dan Baitul Maqdis. Akibat kekalahan Romawi
di Ajnadin itu, beberapa kota di pesisir Syam dan Palestina membuka pintu bagi
bangsa Arab, seperti Yaffa, Gizet Ramla, Tyrus, Uka (Acre), Sidon, Askalonia
dan Beirut.
PENAKLUKAN BAITUL MAQDIS (18 H. = 639 M.)
Laskar
Islam kemudian membulatkan niatnya untuk menaklukkan Baitul Maqdis, ibu kota Palestina dan kota
suci orang Kristen. Kota ini dikelilingi oleh
benteng-benteng yang kuat, dipertahankan oleh pasukan besar tentara pengawal kota dibawah pimpinan
Arection sendiri. Empat bulan lamanya orang Arab mengepung kota itu sehingga penduduknya hampir mati
kelaparan. Akhirnya keluarlah Patrik kota itu
menyatakan kemauannya menyerahkan kota
itu dengan syarat kepada Khalifah Umar sendiri. Maka berangkatlah Umar bin
Khattab ke Baitul Maqdis menerima penyerahan kota itu serta menegaskan keamanan
penduduknya dan kemerdekaan mereka menjalankan agamanya.
Dengan
demikian seluruh Syam dan Palestina telah jatuh ke tangan Islam, sesudah mereka
berperang mati-matian lebih kurang enam tahun lamanya.
2. PEMBEBASAN IRAK DAN PERSIA
Bagi
laskar Islam, manaklukkan negeri-negeri yang dikuasai oleh orang Persia jauh
lebih sukar daripada menaklukkan negeri-negeri yang dikuasai oleh laskar
Romawi, karena mereka terdiri dari bangsa yang bersatu.
Sesungguhnya
Abu Bakar telah mengirim tentaranya ke perbatasan Irak untuk menundukkan
suku-suku Arab yang berdiam di Selatan sungai Euphrat. Tentara itu dapat
mengalahkan tentara Persia serta menduduki Hirah dan Anbar, tapi tak lama
kemudian laskar Arab terpaksa mundur dari serangan tentara Persia yang sangat
banyak, yang dikirim oleh Kisra Yaszayird III dibawah panglima Rustam. Mereka
mundur sampai Gurun Sahara, hal ini sampai berakhirnya kepemimpinan Khalifah
Abu Bakar.
Penyebab
dari kekalahan ini dikarenakan pasukan Islam sedang berkonsentrasi untuk
menaklukkan Syam dan Palestina melawan pasukan Romawi. Setelah Romawi dapat
dikalahkan di Syam dan Palestina pada pertempuran Ajnadin tahun 16 H. maka Umar
bin Khattab mengerahkan tentara memerangi Irak. Pada mulanya Khalifah Umar
sendiri yang akan mempmpin tentara itu, akan tetapi banyak sahabat menasehati
agar pimpinan tentara diserahkan kepada Panglima Sa’ad bin Abi Waqqash. Umarpun
menerima nasehat tersebut.
PERTEMPURAN KADISIA (16 H. = 636 M.)
Sa’ad bin
Abi Waqqash beserta laskarnya melaju menuju Kadisia, suatu kota yang menjadi pintu masuk ke Irak. Disana
bertemu dengan Panglima Rustam yang memimpin tentara Persia dengan jumlah
30.000 serdadu, sedangkan laskar Arab hanya sekitar 7.000 sampai 8.000 ribu tentara.
Bangsa Persia tertawa
sinis melihat peralatan perang laskar Islam yang hanya terdiri dari umban batu
yang mereka katakan sebagai alat penenun benang. Tetapi dalam pertempuran
sengit antara kedua belah pihak tiga hari lamanya, berakhir dengan kemenangan
pada tentara Islam. Dalam pertempuran itu Panglima Rustam serta sejumlah bala
tentaranya mati terbunuh, sedang yang hidup terpaksa melarikan diri. Meraka
dikejar oleh laskar Sa’ad, lalu terjadi pula pertempuran di Jalula tahun 17 H.
(638 M.)
Waktu itu
seorang puteri Kisra dapat ditawan dan sejumlah besar laskar Persia mati
terbunuh. Kemudian Sa’ad memasuki Irak dan menaklukkan kota
Madain, sebagai Ibu kota Kerajaan Persia, sesudah
dikepung selam dua bulan.
Tentara
Islam banyak memperoleh harta rampasan perang yang amat banyak, diantaranya
adalah singgasana keemasan Kisra sendiri. Kisra Yazdayird melarikan diri ke
Halwan. Perang Kadisia ini termasuk peperangan yang paling hebat di zaman Umar
bin Khattab.
PERTEMPURAN DI NAHAWAND (21 H = 642 M)
Pertempuran Nahawand sebagai Fathul Futuh
Kisra
Yazdayird III tidak bisa mengumpulkan tentaranya dengan cepat, ia memerlukan
waktu empat tahun untuk menghimpun kekuatan, maka terkumpullan balatentara yang
berjumlah 150.000 orang untuk menghadapi tentara Islam. Pada tahun 21 H.
Yazdayird III mengerahkan angkatan perangnya itu dan Khalifah Umar mengirimkan
bantuan laskar untuk membantu Sa’ad. Maka terjadilah peperangan yang sanat
hebat diantara keduanya di Nahawand. Pertempuran itu berakhir dengan kemenangan
di pihak Islam, walaupun orang Persia
telah berperang mati-matian membela negaranya. Peperangan ini dikenal dengan
sebutan ‘Fathul Futuh’ yang berarti ‘Pembebasan dari segala pembebasan’.
Yazdayird III Kisra yang terakhir dari keluarga Sasania.
Laskar
Arab terus mengejar Yazdayird III dan menduduki daerah kekuasaannya secara
bertahap, sehingga akhirnya Kisra itu terpaksa melarikan diri sampai ke
perbatasan Timur negerinya. Akan tetapi ia mati ditengah perjalanannya karena
dibunuh orang pada tahun 31 H. (652 M.). Peristiwa ini terjadi pada masa
Kholifah Utsman bin Affan.
Dengan
kematian Yazdayird III ini lenyaplah kerajaan keluarga Sasania dari permukaan
bumi, dan terbuktilah sabda Nabi Muhammad yang menyatakan bahwa kerajaan Persia kelak akan terkoyak oleh ummat Islam
sebagaimana Kisranya mengoyak-ngoyak surat
Nabi kepadanya.
Kemenangan
yang beruntun ini sangat besar pengaruhnya atas kehidupan bangsa Arab
berikutnya. Mereka hidup dalam kesenangan dan kemewahan harta benda yang tiada
terpermanai itu mengelabuhi pikiran bangsa Arab yang telah terbiasa hidup kasar
dan bersahaja.
3. PEMBEBASAN NEGERI MESIR
Mesir sebelum dibebaskan Islam.
Negeri
Mesiar serta daerah kerajaan Bizantium lainnya telah terpecah belah oleh
perselisihan agama dan aliran. Sebelum lahirnya agama Islam, Kristen di daerah
Timur terpecah kepada dua aliran, yaitu:
1-
Aliran Mulkaniyin, sebagai madzhab orang Roma sendiri.
2-
Aliran Ya’akibah, sebagai madzhab orang Mesir dan Siria.
Dari
perselisihan aliran ini, Mesir sering mendapatkan penganiayaan dari orang
Romawi, sehingga kepada agama Kristen Kopti (Suku asli Mesir) yaitu Patrik
Benyamin terpaksa melarikan diri keluar negeri, untuk menghindari penganiayaan
yang ditimpakan oleh orang-orang Romawi. Sedang saudara Patrik ini yang bernama
Mina dapat ditangkap oleh orang Romawi lalu dibakar hidup-hidup dan abunya
dilempar ke dalam sungi Nil, karena tidak mau mengikuti aliran yang diajarkan
oleh orang Romawi.
Selain
karena perbedaan aliran agama itu, orang Romawi juga membebani penduduk Mesir
dengan pajak yang sangat berat. Mereka diwajibkan membayar pajak badan, pajak
perusahaan dengan segala macamnya, pajak ternak, hasil bumi, perniagaan,
perahu, perhiasan rumah tangga dan lain-lainnya. Bahkan pajak lalu lintas,
berkendaraan, jalan kaki, saudagar maupun orang miskin, bahkan upacara
kematianpun ada pajaknya.
Orang-orang
Mesirpun masih harus menjamu dan memenuhi segala kebutuhan para pembesar Romawi
apabila memasuki perkampungan mereka.
Bangsa Mesir mengharap kedatangan laskar Islam
Kemiskinan
dan kemelaratan yang menyeluruh di Mesir, membuahkan dendam, kebencian dan
kemarahan putara sungai nil itu atas pemerintahan Romawi, maka timbullah niat
yang bulat dalam dada untuk mengharap kedatngan daulat yang akan melepaskan
mereka dari keadaan yang menistakan itu. Sementara itu berita akan Pembebasan
Islam atas Siria dan Palestina sampai kepada mereka, maka mereka mengetahui
betapa halus dan mulia budi ummat yang baru maju itu dalam pergaulan dengan
warge negeri yang ditaklukannya, dan betapa luas kemerdekaan faham mereka dalam
beragama. Agama penduduk negeri yang ditundukkan tidak diganggu, melainkan
justru dimuliakan dan dihormati.
Oleh
karena itu hasrat mereka sangat besar hendak melepaskan diri dari tindasan
orang Romawi yang aniaya itu dengan pertolongan ummat Islam.
Permohonan ‘Amru bin al-‘Ash untuk membebaskan Mesir.
Setelah
ummat Islam usai menaklukkan Syam dan Palestina, ‘Amru bin al-’Ash memohon
kepada Khalifah Umar bin Khattab untuk membebaskan Mesir. Panglima ini
menerangkan kepada Khalifah betapa kaya dan suburnya bumi lembah Nil itu dan
betapa penting letaknya menurut ilmu penerangan. (‘Amru bin al-’Ash pernah
menziarahi Mesir di zaman Jahiliah).
Dinyatakannya
dengan tegas bahwa menaklukkan Mesir sama artinya dengan menguatkan kekuatan
Islam di Syam dan Palestina dan memberi perlindungan daerah itu dari serangan
musuh di sebelah selatan. Sebaiknya dengan kekalnya daerah itu di dalam
kekuasaan Romawi berarti merupakan bahaya besar atas kekuasaan daulat Islam di
Siria dan Palestina. ‘Amru bin al-’Ash menerangkan lagi, betapa mudahnya
menaklukkan negeri itu, karena kelemahan penduduknya, sedangkan laskar Romawi
yang ada disana akan kecut hatinya berhadapan dengan laskar Islam, sebab mereka
telah merasa betapa hebat dan dahsyatnya serangan tentara Islam atas mereka di
Syam dan Palestina dahulu, sehingga mereka berturut-turut menderita kekalahan
besar.
Semula
Khalifah Umar bin Khattab merasa bimbang akan mengabulkan permintaan ‘Amru bin
al-’Ash itu, karena dia takut kalau-kalau pengiriman tentara ke negeri itu akan
mendatangkan kerugian yang lebih besar, apabila laskar Islam ketika itu sedang
bergerak pula di Syam dan Irak. Dia belum berani lagi memperluas daerah daulat
Islam selama kekuasaannya belum kuat benar di negeri yang telah ditaklukkan.
Akan tetapi karena berulang-ulang ‘Amru bin al-’Ash meminta dengan alasan dan
keterangan yang bagus, dikabulkanlah oleh Khalifah Umar permintaan Panglima
Perang yang perkasa itu.
Umar bin
Khattab menyerahkan 4.000 orang tentara kepada ‘Amru bin al-’Ash yang
akan dibawanya ke tanah Mesir.
Meskipun
jumlah laskar itu amat sedikit bila dibandingkan dengan pekerjaan besar yang
akan dihadapinya, ‘Amru bin al-’Ash tidak merasa keberatan, sebab dia yakin,
bahwa bila nanti telah berhadapan dengan orang Romawi di negeri Mesir, Kholifah
tidak akan dapat menolak bila dimintai mengirim bala bantuan pasukan.
Tentara Islam Menyisir kota-kota di Mesir.
Berangkatlah
‘Amru bin al-’Ash membawa laskar yang empat ribu itu melalui padang pasir
Sinai, sehingga ia sampai ke El-‘Arisy dan menaklukkan kota itu dengan tidak
mendapatkan perlawanan, kemudian ia terus ke Alfarma, suatu kota tua yang
berbenteng kuat dan ketika itu menjadi pintu gerbang Mesir dari sebelah Timur.
Kota itu
dikepung laskar Islam sebulan lamanya, dan kemudian pada bulan Muharram tahun
19 H. (Januari 640 M.) wali kota itu menyerah kepada ‘Amru bin al-’Ash.
Dari
Alfarma ‘Amru bin al-’Ash terus ke Bilbis, dan di kota itu ia bertemu dengan Panglima Aretion
yang telah melarikan diri ke Mesir sebelum Yerussalem menyerah. Kota itu dapat direbut
‘Amru bin al-’Ash sesudah berperang selama satu bulan.
Ketika kota Bilbis dimasuki
laskar Islam, mereka menemukan Armanusah puteri Mukaukis Gubernur Mesir yang
berpihak kepada penduduk Mesir. Puteri ini tidak ditawan oleh ‘Amru bin
al-’Ash, melainkan dihormati dan dimuliakannya dan dipulangkannya kepada
ayahandanya dengan segala kehormatan. Perbuatan ‘Amru bin al-’Ash yang
sedemikian itu menimbulkan cinta rakyat Mesir kepadanya, karena
sesungguhnya puteri Armanusah seorang pecinta dan pelindung rakyat Mesir dari
murka orang Romawi.
Sesudah
Bilbis jatuh, ‘Amru bin al-’Ash meneruskan perjalanannya lagi sehingga ke Ummu
Dunein (Teudonius), suatu kota
ditepi sungai Nil. Di sini terjadi pula pertempuran antara tentara Romawi dan
Arab beberapa pekan lamanya.
Permintaan Bala Bantuan
Ketika
‘Amru bin al-’Ash mengalami kendala dalam menghadapi tentara Romawi yang
belipat ganda jumlahnya itu, maka ia meminta bala bantuan kepada Khalifah Umar
bin Khattab.
Khalifah
Umar segera mengirim 4.000 bala tentara lagi dibawah pimpinan empat orang
pahlawan yang ternama, yaitu: Zubair bin Awwam, Muqdad bin Aswad, Ubadah bin
Shamit dan Maslamah bin Mukhallad.
Sesungguhnya
‘Amru bin al-’Ash ketika mengepung Ummu Dunein sedang dalam keadaan sangat
sulit, karena laskaranya sudah mulai putus asa, sebab semakin bertambah hari
jumlah mereka terus berkurang, sedang bala bantuan tak kunjung datang. Akan
tetapi ‘Amru bin al-’Ash bukan sembarang panglima, dia bukanlah perwira yang
dapat dikalahkan oleh perasaan putus asa. Keperwiraannya yang menyala-nyata
mengobarkan kembali semangat laskarnya yang hampir putus asa itu. Dengan
gembira mereka menyerang benteng Ummu Dunien, sehingga tentara Romawi terpaksa
lari porak-poranda ke benteng Babil, dan sekalian kapal-kapalnya jatuh ke tangan
tentara Islam.
Kemudian
bala bantuan yang dikirim Umar sampai di ‘Ainu Syams’. Dengan segera panglima
‘Amru bin al-’Ash ke sana
untuk menyambut mereka. Sementara itu panglima Romawi Theodore namanya, telah
menyiapkan pula 20.000 pasukan, lalu menyerang ‘Amru bin al-’Ash di ‘Ainu-Syams
itu. Dalam pertempuran ini orang Romawi juga menderita kekalahan besar, hanya
sedikit sekali mereka yang sanggup melarikan diri ke benteng Babil.
Mengepung Benteng Babil
Panglima
‘Amru bin al-’Ash berusaha mengokohkan kekuasaannya di Ummu Dunein dan di ‘Ainu
Syams, tempat itu dijadikan markas besar tentaranya. Menurut perkiraannya tidak
ada lagi yang akan merintangi maksudnya kecuali dari benteng Babil yang juga
dinamai Istana Lilin.
Setelah
‘Amru bin al-’Ash menyelesaikan tugasnya di Ummu Dunien dan di ‘Ainu Syams,
laskarnya bergerak menuju Babil. Pengepungan benteng itu dimulai paa awal bulan
September 640 M.
Babil
ialah suatu benteng yang terkuat, pagarnya kokoh, menaranya inggi-tinggi dan
hampir seluruhnya dikelilingi oleh sungai Nil. Apabila air pasang maka
parit-parit yang mengelilinginya tergenang oleh air.
Laskar
Islam mengepung benteng itu tujuh bulan lamanya. Ketika tampak oleh Mukaukis
betapa kesabaran musuhnya dalam peperangan, ia keluar beserta pengiringnya pergi
ke pulau Raudha. Dari sana
ia mengirim utusan untuk menemui panglima ‘Amru bin al-’Ash untuk membicarakan
perjanjian perdamaian. Utusan itu diterima oleh ‘Amru bin al-’Ash dengan segala
hormat. Kepada utusan itu ‘Amru bin al-’Ash memberi tiga pilihan, yaitu: masuk
Islam, membayar upeti, atau meneruskan peperangan.
Ketika
utusan itu kembali, mereka ditanya oleh Mukaukis tentang hal ikhwal ummat Islam
itu. Mereka menerangkan: “Kami lihat mereka itu lebih menyukai mati daripada
hidup, lebih mengutamakan kesederhanaan dari pada kemewahan, dunia ini bagi
mereka tak ada harganya dan duduk mereka diatas tanah. Panglima mereka seperti
serdadu biasa, tak ada perbedaan antara orang yang besar dengan yang kecil, tan
ada perbedaan antara tuan dan hamba sahaya. Apabila datang waktu sembahyang
sekalian mereka itu sama membasuh sebagian anggota badannya dengan air yang
bersih dan merekapun sembahyang dengan khusu’nya”.
Penjelasan
singkat ini yang amat menakjubkan dan menarik hati Mukaukis, kemudian ia
berkata seorang diri: “Ummat yang seperti ini kelak pasti akan menjadi penguasa
dunia”.
Perdamaian Mukaukis dengan ‘Amru bin al-’Ash
Kemudian
datanglah utusan ‘Amru bin al-’Ash menemui Mukaukis dan melanjutkan musyawarah
tentang perdamaian. Adapun syarat-syarat perdamaian itu ialah:
- Tiap-tiap bangsa Kopti (penduduk asli Mesir) harus membayar pajak tiap tahun sebanyak dua dinar, kecuali orang tua, perempuan dan anak-anak.
- Mereka wajib menjaga dan memperbaiki jembatan-jembatan yang telah dirusak oleh orang Romawi antara Mesir (Mesir lama tak jauh dari kota Kairo sekarang) dan Iskandariah.
- Mereka harus memberikan tempat menumpang (menerima tamu) orang Islam apabila dihajatkan.
Mukaukis
menerima syarat-syarat perdamaian ini dan perbuatannya itu disetujui oleh
bangsa Kopti seluruhnya. Akan tetapi Kaisar Heraklius di Konstantinopel
memandang perbuatan Gubernurnya itu sebagai suatu pengkhianatan. Maka Mukaukis
dipanggil pulang ke Konstantinopel dan dipenjarakan. Dan kepada sekalian
panlima Romawi yang ada di Mesir diperintahkan memerangi orang Islam
sejadi-jadinya sehigga mereka itu terusir dari Mesir. Dengan demikian
terjadilah peperangan kembali, dan syarat-syarat yang diajukan ‘Amru bin
al-’Ash tidak berguna lagi.
Menyerbu masuk benteng Babil.
Oleh
karena sungai Nil banjir dan airnya naik terlalu tinggi, serbuan laskar Islam
atas benteng Babil terhalang berbulan-bulanlamanya. Bagi panglima ‘Amru bin
al-’Ash tak ada perlengkapan penyerbuan itu yang bisa digunakan kecuali
kesabaran menunggu surutnya air.
Pengepungan
yang berbulan-bulan itu sesunggunya juga menyulitkan tentara Romawi. Kemudian
pada bulan Maret tt\h. 641 M. terdengar oleh orang Romawi sorakan laskar Islam
dalam tenda-tenda mereka yang mengatakan kematian Kaisar Heraklius. Kejadian
yang sedih ini menghilangkan keberanian dan mengecutkan hati mereka. Dan
peristiwa demikian ini adalah pintu kemenangan bagi tentara Islam.
Pada bulan
April tahun itu juga mulailah laskar Islam menyerbu masuk benteng itu. Zubair
bin ‘Awwam meletakkan tangga di dinding benteng sebelah tenggara dan diapun
naik keatas dinding. Ia menyerukan para laskar yang lain, apabila ia
mengucap takbir, maka hendaknya sekalian laskar yang lain juga mengucapkannya
secara serentak. Setelah ia naik ke atas dinding benteng itu, dan dengan pedang
terhunus, ia memekikkan takbir ‘Allahu Akbar’, kemudian diikuti oleh laskar
yang lain yang berada di luar benteng.
Pengaruh kalimat Allah
Mendengar
gemurh suara takbir itu orang Romawi mengira bahwa laskar Islam semuanya sudah
menyerbu masuk dalam benteng, maka mereka berlari meninggalkan pertahanan
mereka.Zubair dan beberapa orang patriot Arab segera membukakan pintu genteng
itu dan barulah tentara Islam yang lain menyerbu masuk ke dalam benteng. Maka
pada bulan April tahun 641 M, tentara Romawi penjaga benteng yang kuat itu menyerah,
setelah laskar Islam menjamin akan keselamatan jiwa mereka.
Menaklukkan kota Iskandariah (Alexanderia)
Setelah
benteng Babil jatuh ketangan laskar Islam, dan setelah disiapkan tentara yang
akan menjaganya, ‘Amru bin al-’Ash berjalan bersama laskarnya menuju
Iskandariah. Dalam perjalanannya ke kota
itu ia dapat menaklukkan beberapa benteng orang Romawi yang lain. Laskar Romawi
yang dapat melarikan diri mundur dan bergabung dengan tentara Romawi yang masih
menguasai Iskandariah lalu bertahan disana. Sementara itu bala bantuan mereka
dari Konstantinopel juga telah datang, sehingga jumlah tentara Romawi yang akan
mempertahankan Iskandariah berjumlah 50.000 serdadu.
Iskandariah pertahanan terakhir Romawi
Kota
Iskandariah pada waktu itu adalah sebagai Ibu kota
kerajaan kedua dan sebagai bandar perniagaan yang kedua bagi Imperium Romawi
Timur (Byzantium).
Kaisar
Heraklius berkeyakinan bahwa apabila Iskandariah jatuh ke tangan Islam, maka
lenyaplah kekuasaan Romawi di Mesir seluruhnya. Oleh karena itu ia mengirim
bala tentara sebanyak-banyaknya untuk mempertahankan Iskandariah sampai titik
darah penghabisan.
Adapun
laskar Islam ketika itu belum memiliki tehnik dan peralatan yang memadai untuk
mengepung kota
itu, armadapun tidak dimiliki untuk menghalangi bala bantuan Romawi dari
Konstantinopel (Ibukota Byzantium). Oleh karena itu lama sekali laskar Islam
mengepung kota itu, yaitu selama empat belas
bulan, jumlah mereka juga relatif kecil dibandingkan dengan tentara Romawi yang
mempertahankan kota
itu. Akan tetapi sebagian bangsa Kopti berada di pihak laskar Islam, mereka
selalu bersedia membantu mereka dengan pelbagai alat dan perbekalan.
Dengan
kesungguhan yang luar biasa, laskar ‘Amru bin al-’Ash hari demi hari dapat juga
merusak dinding kota
Iskandariah. Akhirnya kota
perniagaan yang besar itu jatuh ke tangan laskar Islam sesudah mereka bertempur
habis habisan. Menurut hemat ‘Amru bin al-’Ash bahwa jika mereka hendak
mengekalkan kekuasaan disana, maka mereka harus memperoleh cinta kasih anak
negeri kepadanya dan laskarnya. Maka mereka mempergauli putera bumi lembah Nil
itu, sebagai pergaulan seorang panglima yang memasuki suatu negeri dengan
damai.
Perdamaian yang kedua antara ‘Amru bin al-’Ash dan Mukaukis
Perjanjian
damai kembali dilakukan dengan Mukaukis yang telah kembali ke Mesir dari tempat
pembuangannya sesudah Kaisar Heraklius meninggal dunia. Diantara syarat
perjanjian damai itu ialah:
- Kepada sekalian orang yang bukan Islam diwajibkan membayar pajak sebanyak dua dinar setiap tahun.
- Orang Romawi diberi kesempatan untuk meninggalkan Iskandariah selama sebelas bulan. Dan mereka diperbolehkan untuk membawa harta benda mereka dan semua barang-barang yang mereka miliki.
- Orang Romawi berjanji tidak akan berupaya lagi untuk merebut Mesir kembali.
- Orang Islam berjanji tidak akan mengganggu gereja-gereja dan tidak akan mencamuri apa-apa urusan orang Yahudi.
- Orang Islam memperbolehkan orang Yahudi tinggal dan menetap di Iskandariah.
Untuk
menjamin agar orang Romawi jujur dalam menjalankan syarat-syarat perjanjian itu,
maka panglima ‘Amru bin al-’Ash enetapkan bahwa, orang Romawi harus menyerahkan
150 laskar dan 50 opsir kepada laskar Islam sebagai tanggungan.
Romawi meninggalkan Mesir
Setelah
jatuhnya kota
Iskandariah ke tangan laskar Islam, maka mudah bagi laskar Islam menaklukkan
kota-kota yang lain. Dan pada akhirnya lenyaplah kekuasaan Romawi dari atas
bumi hadiah sungai Nil itu, dan berkibarlah bendera Islam dengan jayanya di
atas puncak menara-menara dan gedung-gedungnya.
PENGATURAN TATA NEGARA ISLAM
Pembagian daerah Pemerintahan
Buah dari
pembebasan negeri sekitar pada zaman Khalifah Umar bin Khattab adalah duasnya
daerah kekuasaan khilafah Islamiyah.
Sebagian
besar daerah kerajaan Persia
dan kerajaan Romawi Timur jatuh ke tangan Islam. Oleh karena itu Umar bin
Khattab berusaha membulatkan tekadnya untuk mengatur negara dengan sekian
urusan dan luasnya serta meratakan keadilan di seluruh plosok negeri.
Khalifah
berusaha mengadakan berbagai perbaikan dan ishlah. Hal ikhwal negeri-negeri
yang telah ditaklukkannya, kemajuan-kemajuan yang ada di sana, peraturan-peraturan pemerintahan yang
telah teratur serta peninggalan pemerintahan yang lama banyak sekali menolong
Umar bin Khattab dalam melaksanakan cita-citanya untuk mengatur Daulah Islam.
Umar bin
Khattab membagi Daulah Islam kepada beberapa wilayah atau propinsi. Beberapa kota besar didirikan dan
pada beberapa daerah yang luas diadakan ibu kotanya yang baru, seperti Kufah,
Bashrah (di Irak) dan Fusthath (di Mesir).
Wali (Gubernur) sebagai kepala pemerintah daerah.
Unguk
mengepalai pemerintahan di wilayah itu ia mengangkat seorang wali (gubernur),
dibantu oleh pegawai-pegawai bawahannya, seperti amil pajak (Mentri pendapatan
Negara), Qadhi (Hakim Tinggi), Katib (Sekretaris), Panglima Tentara dan Kepala
Staff.
Mereka itu
senantiasa diawasi oleh mata-mata khalifah yang akan melaporkan keadaan
pegawainya itu kepadanya. Meskipun Umar mengangkat pegawai-pegawai pemerintahan
dari para ahli, namun mereka selalu diawasi dengan teliti agar rakyat aman
sentosa dan terjauh dari aniaya dan kezaliman. Dari ketelitiannya, tiap orang
yang akan jadi wali (gubernur) harus diaudit (dihitung) harta bendanya sebelum
dia menjalankan pekerjaannya. Apabila telah usai masa tugasnya, hartanya
dihitung kembali. Apabila ditemukan hartanya melebihi dari yang dahulu, dan
kelebihannya itu diperoleh dengan jalan melanggar peraturan negara Islam, maka
kelebihannya itu atau sebagiannya harus diambil dan diserahkan kepada Baitul
Mal (Perbendaharaan Negara).
Pemimpin Yang Teliti
Umar bin
Khattab adalah khalifah yang pertama menyusun undang-undang ‘husbah’, yaitu
peraturan yang mengawasi urusan pasar, menjaga adab sopan-santun, mengawasi
timbangan dan ukuran supaya tidak ada lagi tipu daya timbangan. Kebersihan
jalan juga tidak lepas dari perhatiannya, dan segala urusan yang berhubungan
dengan kepentingan umum, yang menjadi urusan pejabat kota (Jawatan Pekerjaan Umum) di zaman ini.
Menyusun Dewan-dewan
Harta
kekayaan Kisra-kisra Persia jatuh ke tangan orang Islam, banyak emas, perak,
serta permata-permata yang mahal harganya yang berasal dari rampasan
perang, pembayaran pajak yang diwajibkan atas rakyat yang bukan Islam (jizyah)
dan dari pajak hasil bumi yang melimpah dalam kas negara.
Umar
berusaha mengatur harta-benda negara itu dengan mendirikan dewan-dewan (daftar
keluar masuknya uang) yang ditiru dari bangsa Persia, seperti Dewan bala tentara,
yang urusannya menuliskan nama-nama tentara dan mengatur pemberian gaji. Juga
diadakan Dewan perhitungan harta benda negara, untuk mengurus segala pemasukan
kedalam perbendaharaan negara (Baitul Mal0, dan mengurus segala hadiah dan
pemberian kepada ummat Islam menurut tingkatan mereka masing-masing,
berdasarkan jauh-dekatnya hubungan kerabat dengan rasulullah s.a.w.,
awal-akhirnya masuk Islam, atau banyak-sedikitnya jasanya dalam peperangan di
masa rasulullah s.a.w.
Urusan Kehakiman
Khalifah
Umarlah yang mula-mula mengatur urusan kehakiman dalam Islam. Diaah yang
menentukan dan mengangkat Qadhi (Hakim) dalam tiap-tiap wilayah. Akan tetapi
kadang-kadang pengangkatan qadhi itu ada pula yang diserahkannya kepada Wali
(gubernur) wilayah tertentu, menurut keadaan dan tempat tertentu.
Adapun
yang boleh diangkat menjadi qadhi itu ialah mujtahid, yaitu: orang yang ahli dalam hukum
syari’at dan pandai menetapkan suatu hukum dengan berdasarkan pada al-Qur’an
dan sunnah.
Para
hakim itu mendapatkan kebebasan penuh dalam melaksanakan tugasnya, mereka tidak
terpengaruh oleh kekuasaan wali (gubernur). Kedudukan yang mulia atau hina,
kaya dan miskin sama dalam pandangan hakim.
Mereka
memeriksa perkara di dalam masjid, yaitu dalam persidangan yang terbuka. Mereka
diberi gaji tetap secukupnya, agar tenaga mereka sepenuhnya dapat menghadapi
sepenuhnya dalam urusan kehakiman.
Adapaun
kesalehan dan keperwiraan ummat Islam di zaman pemerintahan Umar telah sampai
pada puncaknya. Pernah kejadian: Ka’ab bin Abi Yasar menolak suatu pangkat yang
tinggi ketika akan diangkat Umar menjadi Qadhi di Mesir. Ia belum percaya
kepada dirinya, akan dapat berlaku adil dalam pekerjaan itu.
Akhir hayat Khalifah Umar bin Khattab r.a.
Ketika
Umar bin Khattab sedang berusaha sekuat tenaga mengatur sekalian urusan dalam
Daulah Islam, bencana datang menimpa dirinya, bahkan menimpa Islam, yang
menyebabkan sampai ajalnya.
Seorang
hamba sahaya bangsa Persia yang berasal dari tawanan perang di Hanawand, hamba
sahaya dari Mughirah bin Syu’bah, bernama Fairuz dan biasa disebut Abu Lu’luah,
amat dengki dan sakit hati kepada Khalifah Umar, karena Umarlah yang
menyebabkan kerajaan Persia lenyap dari muka bumi ini. Maka pada suatu hari ia
menikam Khalifah Umar yang bijaksana itu, ketika akan sembahyang subuh.
Umar r.a.
wafat pada bulan Zulhijjah, tahun 23 H. (644 M.) dalam usia 63 tahun dan
sesudah memerintah Daulah Islam selama 10 tahun 6 bulan.
Pemilihan Khalifah sesudah Umar bin Khattab
Ketika
Umar merasakan bahwa ajalnya sudah dekat, ia menunjuk enam orang sahabat
pilihan, yaitu para sahabat yang menjadi dewan syura di zamannya. Seorang dari
enam sahabat itu dipilih dan yang mendapat suara terbanyak diangkat menjadi
khalifah. Mereka itu ialah: Ali bin Abi Talib, Utsman bin Affan, Zubair bin
Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdurrahman bin ‘Auf dan Thalhah bin Ubaidillah.
Menurut wasiat Umar, siapa yang terbanyak mendapat suara dialah yang akan
dinobatkan menjadi khalifah. Dan bila suara itu sama banyaknya, haruslah
dipilih yang disetujui oleh Abdullah bin Umar.
Dan
akhirnya pemilihan itu jatuh atas diri Utsman bin Affan r.a.
Masa Ustman Bin Affan r.a
Tahun 23 sampai 35
Hijriah.
Tahun 644 sampai 656 Masehi.Kehidupan dan sifat-sifat Utsman bin Affan
Utsman bin Affan termasuk salah seorang yang pertama masuk Islam. Ia pernah menjadi sekretaris Rasulullah s.a.w. menuliskan wahyu. Dan di zaman Abu Bakar ia menjadi penasehat Khalifah.Utsman bin Affan juga terkenal dengan kesalehan dan kejujurannya dalam agama. Dia pernah menafkahkan sebagian besar hartanya untuk memajukan Islam. Dia disayangi oleh Rasulullah sampai dikawinkan dengan puterinya Rukayyah, setelah Rukayyah wafat dikawinkan dengan puterinya yang lain yaitu Ummi Kultsum. Oleh karena itu Utsman bin Affan diberi gelar Dzun-Nuraihi, yang artinya: yang mempunyai dua cahaya, dan pernah hijrah dua kali, ke Habasyah dan Madinah.
Penaklukan di zaman Utsman bin Affan
Di zaman Khalifah Utsman bin Affan daerah khilafah Islam bertambah luas, seluruh tanah Persia sampai di Tebristan, Azerbeijan dan Armenia. Di zamannya pula armada Islam mula-mula dibangun atas anjuran dan usaha Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang ketika itu menjadi Wali (Gubernur) Syam. Armada itu sengaja digunakan untuk menyerang Byzantium. Dengan angkatan laut itulah Mu’awiyah menaklukkan beberapa negeri Asia Kecil dan pesisir Laut Hitam. Dengan armada itu pula ia menduduki pulau Cyprus dan Rhodus.Serbuan serdadu Romawi atas Mesir
Kejatuhan Mesir ke tangan Islam sangat merugikan Byzantium. Oleh karena itu mereka melanggar perjanjian damai yang mereka buat dengan panglima ‘Amru bin al-‘Ash dahulu. Kota Iskandariah diserang, namun mereka dapat dipukul mundur paa tahun 25 H. (644 M). Kemudian pada tahun 31 H (654 M.) mereka menyerang Mesir untuk kali kedua dipimpin langsung oleh Kaisar Konstantyn putera Heraklius. Akan tetapi penyerangan itu dapat juga dipukul mundur oleh laskar Islam dibawah pimpinan panglima Abdullah bin Sa’ad. Dalam pertempuran itu juga turut serta armada dari kedua belah pihak yang terkenal dengan dengan nama ‘Perang Zatus Shawari’.Di zaman Utsman bin Affan ini panglima Abdullah menundukkan Afrika (Tunisia) dan menyerang negeri Nubia (sebelah Utara Sudan), sehingga rajanya terpaksa mengikat perjanjian admai dengannya.
Haluan politik Utsman bin Affan
Utsman bin Affan diangkat menjadi Khalifah ketika ia berumur 70 tahun. Tabi’atnya ramah-tamah dan pekertinya lemah-lembut. Keteguhan hati dan kecakapannya seperti yang ada pada Abu Bakar dan Umar tak ada paa dirinya. Pada hal sifat ini perlu sekali bagi seseorang yang akan mengendalikan suatu negara yang sangat luas sebagai negara Islam dikala itu. Apalagi zaman itu adalah permulaan zaman pancaroba bagi kehidupan bangsa Arab, yaitu permulaan masa perpindahan dari kehidupan bersahaja kepada kehidupan yang mewah dan penuh dengan kesenangan, dikarenakan kekayaan yang terus mengalir melipah, datang dari negeri-negeri yang ditaklukkan.Utsman bin Affan mengangkat para wali (gubernur) dari kerabatnya, hal ini dikarenakan kepercayaan Utsman bin Affan kepada mereka lebih besar daripada kepada orang lain yang bukan keluarganya. Adapun haluan ini diambil dengan harapan memperkuat persatuan khilafah Islam dan menghindari perpecahan.
‘Amru bin al-‘Ash wali Mesir di pecatnya dan penggantinya diangkat Abdullah bin Sa’ad saudara sesusuannya.
Demikian juga wali Bashrah Abu Musa al-Asy’ari digantikan dengan Abdullah bin ‘Amir keluarganya juga, sedang wali-wali lama yang termasuk kerabatnya seperti Mu’awiyah bin Abi Sufyan sebagai wali Syam, masih tetap dalam jabatannya. Untuk menjadi penasehatnya diangkat juga dari kerabatnya yaitu Marwan bin al-Hakam.
Begitu pula sekalian jabatan tinggi di zaman Khalifah Utsman juga diangkat dari keluarganya, yaitu keluarga Bani Umayyah. Jadi khilafah Islam ketika itu seakan-akan telah menjadi daulat Bani Umayyah.
Perbuatan yang dianggap ganjil oleh beberapa sahabat ini termasuk cara pembelanjaan harta benda negara menurut cara yang belum pernah dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Kepada Abdullah bin Sa’ad diberikan hak menguasai seperlima dari harta rampasan perang yang diperolehnya dari Afrika. Dan kepada kaum Quraisy diizinkan memiliki tanah-tanah di Irak dan Syam dan di daerah-daerah yang lain, sehingga menimbulkan kebencian penduduk negara-negara bagian kepada pemerintahannya.
Maka tidak mengherankan, kalau siasat Utsman bin Affan ini menyebabkan timbulnya kemarahan dan kebencian ummat Islam kepada dirinya dan kepada wali-walinya. Apalagi perbuatan wali-wali itu memungut pajak terlalu tinggi, makin memperbesar api kemarahan itu.
Fitnah yang membawa kematian Utsman bin Affan
Api kemarahan sebagian besar umat Islam kepada Utsman bin Affan semakin lama semakin menyala. Dalam pada itu seorang penghasut dari bangsa Yahudi yang baru masuk Islam, Abdullah bin Saba’ namanya, menambah berkobarnya api yang telah menyala itu.Dia mengembara kemana-mana dan di kota-kota besar, menghasut dan menjelek-jelekkan nama Utsman bin Affan dan wali-wali yang diangkatnya. Racun fitnah itu disebarkan di Hijaz, Bashrah, Kufah, Syam dan Mesir. Disini dia menghasut sejadi-jadinya, sehingga ia berani mengatakan bahwa Nabi Muhammad pernah berwasiat supaya pangkat Khalifah diberikan kepada Ali bin Abi Talib, dan dia sajalah yang berhak menjadi Khalifah. Hasutannya itu termakan oleh rakyat dan mereka berpendapat bahwa Utsman bin Affan mengambil pangkat Khalifah dengan jalan yang tidak benar, yaitu melanggar wasiat Rasulullah s.a.w.
Ibnu Saba’ dan para pengikutnya di Mesir, di Basrah dan Kufah telah sepakat untuk datang ke Madinah membuat perhitungan dengan Khalifah, kalau perlu dengan kekerasan.
Maka timbullah huru-hara dimana dan utusan Mesir yang akan menghadap Khalifah Utsman bin Affan telah tiba di Madinah. Mereka itu berjumlah 600 orang dan dikepalai oleh Muhamma bin Abi Bakar dan Muhammad bin Abi Huzaifah. Mereka memohonkan kepada Utsman bin Affan untuk mengganti sekalian wali-walinya dan memecat Abdullah bin Sa’ad wali Mesir. Permintaan mereka itu dituluskan oleh Utsman bin Affan. Abdullah dipecat dan sebagai gantinya diganti dengan Muhammad bin Abi Bakar.
Pemberontak mengepung Kediaman Khalifah Utsman
Keputusan Khalifah ini menyenangkan hati utusan Mesir itu, dan merekapun pulang. Akan tetapi mereka kemudian kembali mendapatkan utusan Utsman yang membawa sepucuk surat yang ditulis oleh Marwan dan di stempel dengan stampel Utsman sendiri, surat itu berisi perintah Utsman kepada wali Mesir Abdullah bin Sa’ad supaya menindas dan menghukum sekalian kaum pemberontak. Utusan itu mengatakan bahwa surat itu mereka dapatkan dari seorang suruhan yang sedang dalam perjalanan menuju Mesir. Utsman bin Affan menyangkal tuduhan itu dan dia bersumpah menyatakan tidak sekali-kali menyuruhnya membuat dan ia tidak tahu menahu dengan surat itu.Mereka meminta kepada Utsman supaya Marwan diserahkan kepada mereka untuk diperiksa lebih lanjut. Akan tetapi Khalifah tidak mengabulkannya.
Laskar Islam saat itu sedang terbagi di beberapa kota yang takluk dibawah kekuasaan Islam. Peluang ini digunakan oleh kaum pemberontak dengan mengepung kediaman Utsman selam 40 hari.
Beberapa orang sahabat yang utama mengirim putera masing-masing untuk melindungi jiwa Khalifah Utsman bin Affan. Setelah pengepungan sampai pada hari ke delapan belas, Utsman meminta bantuan kepada Mu’awiyah dan kepada wali-wali yanglain. Ketika para pemberontak mengetahui akan hal itu, mereka makin naik darah dan sebagian mereka memasuki kediaman Khalifah Utsman bin Affan. Mereka memukul Khalifah dengan pedang sehingga membawa kematiannya dan merampas hartanya. Kejadian nista yang sangat menyedihkan ini terjadi pada tahun 35 H. (656 M.)
Masa Ali bin Abi Talib Karramallahu Wajhahu
Tahun 35 sampai 40
Hijriah.
Tahun 656 sampai 661 Masehi.Ali bin Abi Talib Karramallahu Wajhahu
Ali bin Abi Talib adalah termasuk sahabat pertama yang masuk Islam, yaitu dimasa ia masih kanak-kanak. Dia adalah keponakan dan juga menantu dari Rasulullah s.a.w. yaitu suami dari puteri Rasulullah Fatimah az-Zahra’ r.a. Ia dikenal sebagai pemberani dan perwira dan turut dalam seluruh peperangan Rasulullah kecuali prang Tabuk. Di zaman pemerintahan Umar dan Utsman dia memangku jabatan penting dan mengurus perkara yang penting-penting dan rumir, ia juga sebagai anggota Dewan Syura yang diangkat Umar untuk memilih penggantinya. Ketika pangkat Khalifah jatuh kepada Utsman dia turut juga menyetujui pengangkatan itu, tetapi ia tidak menyetujui politik pemerintahan Utsman, terutama pada akhir-akhir pemerintahannya.Setelah Utsman Wafat, orang-orang Madinah membai’at Ali bin Abi Talib sebagai Khalifah, akan tetapi pengangkatan ini dipandang sebagian kaum muslimin kurang lazim, karena kota Madinan ketika itu sedang dikuasai oleh kaum pemberontak, sedangkan para sahabat hanya sebagian kecil yang berada di Madinah seperti Thalhah dan Zubair. Kedua sahabat ini turut membai’at Ali bin Abi Talib karena desakan para pembai’at ketika itu.
Politik Ali bin Abi Talib
Menurut pendapat Ali bin Abi Talib wali-wali yang diangkat Khalifah Utsman tidak layak dan cakap mengurus masalah ummat Islam. Maka sekalipun kedudukannya sebagai khalifah belum kuat dan kokoh, niatnya telah tetap akan memberhentikan para wali itu. Beberapa sahabat memberi peringatan kepada Ali agar dia membatalkan niatnya itu. Akan tetapi dia tidak mau mundur barang setapak, niatnya itu dilaksanakan.Perpecahan ummat Islam
Oleh karena siasat Ali yang sedemikian itu, maka ummat Islam menjadi retak, ummat Islam pecah menjadi tiga golongan (partai), yaitu 1.Golongan pendukung Ali bin Abi Talib, 2. Ummat yang menuntut atas kematian Utsman bin Affan, mereka dikepalai oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan, 3. Yang tidak setuju dengan tuntutan Mu’awiyah dan tidak setuju dengan pengangkatan Ali, mereka dipimpin oleh Thalhah, Zubair dan ‘Aisyah.Perang Unta
Khalifah Ali bin Abi Talib telah memecat Mu’awiyah dari jabatannya. Akan tetapi di tidak mempedulikan pemecatannya itu, melainkan ia tetap memegang jabatannya sebagai wali Syam. Maka Ali bin Abi Talib menyiapkan pasukan untuk memeranginya. Akan tetapi ketika ia akan berangkat ke Syam datanglah berita bahwa orang Makkah telah keluar dari kelompok Ali, mereka dikepalai oleh Thalhah, Zubair dan ‘Aisyah. Mereka telah menduduki kota Bashrah dengan tentara besar yang dipimpin oleh ‘Aisyah pada tahun 36 H. (567 M.)Mendengar berita yang demikian itu, Ali mengurungkan maksudnya untuk menyerang Syam, dan dengan segera ia beserta laskarnya berangkat ke kota Kufah, kemudian terus ke Bashrah dengan membawa tentara 200.000 orang. Di Bashrah ia bertemu dengan tentara ‘Aisyah, lalu terjadilah pertempuran yang terkenal dengan Waqi’atul Jamal (Perang Unta). Dinamakan demikian, karena ‘Aisyah yang memimpin pasukan menunggang unta.
Dalam peperangan ini Ali memperoleh kemenangan. Thalhah dan Zubair terbunuh dan ‘Aisyah ditawan. Akan tetapi ia tidak diperlakukan oleh Ali sebagai tawanan, melainkan dihormati dan dimuliakan, lalu dipulangkan ke Makkah, serta dinasehatinya agar dia tidak lagi mencampuri politik negara.
Bani Hasyim dan Bani Umayyah
Perang Unta telah usai, Ali memperoleh kemenangan, sedangkan ‘Aisyah tidak lagi mencampuri urusan politik negara. Akan tetapi perselisihan antara sesama ummat Islam belum berakhir, karena masih ada dua golongan yang bertentangan, yaitu parta Ali dari keluarga bani Hasyim dan partai Mu’awiyah pemimpin keluarga Bani Umayyah.Partai Bani Umayyah menuduh Ali terlibat dalam pembunuhan atas Utsman bin Affan. Oleh karena itu perselisihan timbul kembali antara keluarga bani Hasyim dan Bani Umayyah sebagaimana paa masa Jahiliah dahulu.
Perbedaan antara Laskar Ali dan Laskar Mu’awiyah
Antara laskar Ali dan laskar Mu’awiyah besar sekali perbedaannya. Mu’awiyah yang telah dua puluh tahun lamanya memerintah di Syam sebagai wali propinsi, dapat menarik hati penduduk negeri itu dengan kemurahan dan kecerdikannya, sehingga ia berkuasa besar dalam wilayah itu dan tak ada seorang penduduk Syam yang mau menyangkal perintahnya. Hal ini bukan karena takut kepada Mu’awiyah, tapi karena sayang dan cinta mereka kepadanya. Dan lagi sifat dan tabi’at orang Syam yang cinta akan peraturan dan patuh kepada undang-undang, menjadi satu pertolongan besar bagi Mu’awiyah, dalam usahanya melaksanakan apa yang diinginkannya.Sedangkan laskar Ali sebagian besar terdiri dari bangsa Badwi yang masih membenci peraturan, dan enggan tunduk dibawah undang-undang.
Perang Seffein
Khalifah Ali mendengar kabar bahwa Mu’awiyah telah bersiap lengkap akan memeranginya. Oleh kerana itulah Ali bersegera mengerahkan pasukannya untuk menghadapi serangan musuhnya itu di Siffein. Di Siffein di tempat sebelah barat sungai Euphrat, laskar Ali bertemu dengan laskar Mu’awiyah, lalu terjadilah pertempuran dahsyat antara kedua laskar tersebut, pertempuran ini terjadi selama 40 hari. Dalam pertempuran itu pihak Ali hampir memperoleh kemenangan, sedangkan Mu’awiyah sudah berfikir hendak melarikan diri. Akan tetapi karena tipu daya Amru bin al-‘Ash yang berperang dipihak Mu’awiyah, maksud pelariannya itu diurungkanlah oleh Mu’awiyah. Kemudian ‘Amru bin al-‘Ash menyuruh laskarnya menusuk Mushaf (Qur’an) dengan ujung lembingnya, lalu dinaikkan sebagai tanda hendak berdamai dengan tunduk kepada al-Qur’an.Tentara Ali tertipu
Melihat hal ini tentara Ali terperdaya, lalu mereka mendesak Ali untuk menghentika perang, Ali bersikukuh hendak melanjutkan peperangan karena ia yakin perdamaian Mu’awiyah hanyalah tipu daya belaka, namun pasukannya selalu mendesaknya untuk berdamai, terpaksalah Ali mengikuti kemauan kebanyakan pasukannya.Setelah kedua belah pihak sepakat mengadakan majlis tahkim yang akan memutuskan perselisihan itu, Ali mundur dengan tentaranya ke Kufah dan laskar Mu’awiyah mundur ke Syam.
Dalam perdamaian yang akan diadakan itu, pihak Ali diwakili oleh Abu Musa al-Asy’ari seorang tua yang lurus hati, dan pihak Mu’awiyah diwakili oleh ‘Amru bin al-‘Ash seorang ahli siasat Arab yang terkenal licin.
Korban perang Siffein
Dalam pertempuran Siffein dimana kedua belah pihak bertemu di laga sampai 90 kali, menimbulkan banyak korban dari kedua belah pihak. Di pihak laskar Ali gugur 25.000 orang dan dari pihak laskar Mu’awiyah 45.000 orang.Setelah Ali mengundurkan sentaranya ke Kufah, sebagian pengikutnya mendurhakainya, kaum pendurhaka itu dikenal dengan parti Khawarij (partai yang keluar dari golongan Ali).
Sebat timbulnya pendurhakaan itu adalah karena mereka berpendapat bahwa Ali melakukan kesalahan besar tentang pemberhentian perang dan menerima tahkim, sedang dia hampir saja memperoleh kemenangan. Mereka mendesak Ali supaya meneruskan peperangan, tetapi Ali tidak mau melanggar janji yang telah dibuatnya dengan Mu’awiyah, walaupun hal itu selula tidak disetujuinya. Oleh karena itu kelompok ini mengadakan perlawanan dan membuat keributan dan kerusakan dimana-mana. Jumlah mereka kira-kira 12.000 orang.
Kaum pendurhaka ini sebagian dapat ditindas oleh Ali dan yang sebagian yang lain melarikan diri, dari mereka itulah timbul partai Khawarij kemudian, yaitu golongan ummat Islam yang keras, yang tak mau tunduk dibawah kekuasaan Khalifah manapun. Semboyan mereka adalah: ‘Kekuasaan hanyalah di tangan Tuhan’.
Hasil Tahkim
Setelah datang waktu tahkim sesuai dengan perjanjian, para wali dari kedua belah pihak berkumpul di Dumatul Jandal. Utusan Ali berjumlah 100 orang dikepalai oleh Abu Musa al-Asy’ari dan utusan Mu’awiyah banyaknya juga 100 orang dikepalai oleh ‘Amru bin al-’Ash, sedang Mu’awiyah sendiri termasuk dalam jumlah 100 itu.Dengan tipu-daya yang licin ‘Amru bin al-’Ash dapat mengalahkan Abu Musa yang lurus hati itu dalam persidangan majlis tahkim.
‘Amru bin al-’Ash menerangkan kepada Abu Musa bahwa untuk menjadi dasar perundingan, maka Ali dan Mu’awiyah diturunkan dari pangkat Khalifah. Sesudah itu soal Khalifah diserahkan kepada ummat Islam dan kepada mereka diberikan kemerdekaan seluas-luasnya tentang siapa yang akan mereka pilih menjadi Khalifah.
Keterangan ‘Amru bin al-’Ash ini diterima oleh Abu Musa dengan sejujur hatinya untuk menjadi dasar perundingan. Di hari persidangan di Daumatul Jandal itu (suatu tempat antara Irak dan Syam) diharapan beribu-ribu ummat Islam, maka tertipulah Abu Musa oleh kelicikan politik ‘Amru bin al-’Ash.
Karena menghormati ketinggian umur dan derajatnya, ‘Amru bin al-’Ash meminta kepada Abu Musa untuk terlebih dahulu berdiri diatas mimbar, menerangkan dasar perundingan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Dengan ikhlas dan jujur hati Abu Musa naik ke atas mimbar, lalu berpidato menerangkan bahwa untuk kemaslahatan ummat Islam di dan ‘Amru bin al-’Ash telah sepakat untuk memberhentikan Ali dan Mu’awiyah dari jabatan Khalifah. Tentang pengangkatan Khalifah yang baru diserahkan sepenuhnya kepada permusyawaratan ummat Islam. Saya sebagai wakil dari pihak Ali dengan ikhlas dan jujur hati menurunkan Ali dari kursi Khalifahnya”.
Kemudian naik pula ‘Amru bin al-’Ash lalu berkata menerangkan, bahwa ia menerima dan menguatkan keberhentian Ali itu, dan menetapkan Mu’awiyah dalam pangkatnya sebagai Amirul Mu’minin.
‘Amru bin al-’Ash kembali menjadi wali Mesir
Karena kepincangan hasil perdamaian di Daumatul Jandal itu, maka timbullah perang saudara kembali. Dalam pada itu Mu’awiyah berusaha sekuat tenaga untuk menundukkan wali-wali yang diangkat oleh Ali, ‘Amru bin al-’Ash dikirimnya ke Mesir memerangi Muhammad bin Abu Bakar wali negeri dari pihak Ali. Muhammad mati terbunuh dalam peperangan itu dan ‘Amru bin al-’Ash diangkat oleh Mu’awiyah menjadi wali di negeri Mesir, menjabat jabatannya yang lama.Pembunuhan atas diri Ali
Hasil perdamaian di Daumatul Jandal sangat mengecewakan hati ummat Islam yang berpihak kepada Ali. Oleh kerena itu Khalifah Ali bermaksud hendak menyerang negeri Syam tempat kedudukan Mu’awiyah. Akan tetapi sebagian besar penduduk Irak tidak mengacuhkan dia lagi, sehingga amat sukar baginya mengumpulkan balatentara dan akhirnya maksudnya itu terpaksa dibatalkan. Dalam pada itu tiga orang dari kelompok Khawarij telah mengadakan permufakatan jahat untuk membunuh Ali, Mu’awiyah dan ‘Amru bin al-’Ash. Menurut mereka orang yang bertiga inilah yang menjadi pangkal fitnah yang menimbulkan peperangan sesama ummat Islam.Tiga orang Khawarij itu ialah: Ibnu Muljam yang akan membunuh Ali, Albarak yang akan membunuh Mu’awiyah dan Umar bin Bakir yang akan membunuh ‘Amru bin al-’Ash.
Ibnu Muljam berhasil usahanya, tetapi maksud kedua temannya itu tidak berhasil, karena Mu’awiyah dan ‘Amru bin al-’Ash sangat berhati-hati menjaga dirinya.
Maka pada tanggal 17 Ramadhan tahun 40 H. (661 M), Ali bin Abi Talib wafat ditikam oleh Ibnu Muljam dengan pedang beracun, dalam masjid Kufah dikala yang mulia itu hendak sembahyang Subuh. Ali wafat sesudah memerintah empat tahun sembilan bulan lamanya, masa yang tidak sunyi dari peprangan. Sepeninggal Ali bin Abi Talib, maka ummat Islam membai’at puteranya Hasan bin Ali sebagai Khalifah.
Hasan bin Ali bin Abi Talib
Setelah Hasan bin Ali menjadi Khalifah, Mu’awiyah mempersiapkan diri untuk menyerang Kufah tempat kedudukan Hasan. Persiapan Mu’awiyah itu sampai beritanya kepada Hasan. Oleh sebab itu dia berusaha mengumpulkan bala tentaranya dari penduduk Kufah untuk menyambut kedatangan angkatan perang Mu’awiyah. Tetapi usahanya itu tidak mendapat perhatian. Penduduk Irak tidak mengacuhkan seruannya itu, sebagaimana dialami oleh ayahandanya.Oleh karena itu maka id mundur ke Madain dengan para pengikutnya. Dari sana ia berdamai dengan Mu’awiyah.
Hasan menyatakan kepada Mu’awiyah, bahwa untuk memelihara darah ummat Islam, ia rela menurunkan dirinya dari kursi Khilafah, asal Mu’awiyah mau berjanji takkan menghinakan dan mencela nama ayahandanya lagi di atas mimbar serta menyerahkan nanti pangkat Khalifah kepada permusyawaratan ummat Islam sesudah Mu’awiyah.
‘Aamul Jama’ah
Syarat-syarat perdamaian yang dikemukakan Hasan itu diterima oleh Mu’awiyah dan dia berjanji akan melakukan segala yang tersebut dalam perjanjian itu.Perjanjian damai antara Hasan dan Mu’awiyah ini, terjadi dalam tahun 41 H. Tahun ini dinamai dengan ‘Aamul Jama’ah’, artinya tahun persatuan, karena di tahun ini ummat Islam bersatu kembali dibawah pemerintahan satu pemimpin (Khalifah).
Subscribe to:
Posts (Atom)